Sebagian dari kita ada yang memiliki tabiat apabila mengetahui saudaranya tergelincir melakukan dosa atau maksiat, kemudian ia jadikan bahan perbincangan atau ghibah.
Bahkan kadang tak segan-segan ia mencela dan menyebarkan aibnya.
Padahal bisa jadi pelaku dosa tersebut sudah menyesal dan bertaubat dari dosa tersebut. Atau bisa jadi esok sebaliknya kita yang tergelincir melakukan maksiat dan dosa itu,
Karena itu hendaknya kita senantiasa ingat, bahwa manusia adalah tempatnya hilaf dan dosa, dan tak satupun manusia yang hidup tanpa memiliki dosa.
Maka tidak ada alasan kita boleh merendahkan dan mencela dosa orang lain, sekalipun dia adalah pelaku maksiat.
Dan mengenai hal ini, mari kita perhatikan nasihat para ulama tentang orang yang mencela atau menjelek-jelekkan dosa saudaranya, Semoga setelah kita mengetahui, kita akan menyesal dan bertaubat, kemudian kita meninggalkan kebiasaan buruk lisan kita.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)
Kemudian beliau juga melanjutkan penjelasan bahwa dosa mencela saudaranya yang telah melakukan dosa itu lebih besar dari dosa yang dilakukan oleh saudaranya itu. Beliau berkata,
ﺃﻥ ﺗﻌﻴﻴﺮﻙ ﻷﺧﻴﻚ ﺑﺬﻧﺒﻪ ﺃﻋﻈﻢ ﺇﺛﻤﺎ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ ﻭﺃﺷﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ
“Engkau mencela atau menjelekkan saudaramu karena dosa yang dia lakukan, Maka perbuatan itu lebih besar dosanya dibanding dosa dan maksiat yang dia lakukan” (Madarijus Salikin, 1: 177)
Islam memerintahkan kita untuk menasehati apabila melihat atau mengetahui saudaranya melakukan maksiat dan dosa, dan islam tidak pernah memerintahkan kita untuk mencela dan mengejelek-njelekkan dosanya.
Karena hal demikian justru akan menyakiti perasaan orang lain, meruntuhkan kehormatannya dan dengan hal itu bisa menjadi celah bagi setan agar kita merasa lebih suci, mulia, alim sehingga timbul sifat kagum terhadap dirinya sendiri dan sombong.
Para ulama sudah mengingatkan mengenai hal ini, terlebih mereka adalah orang yang sangat berhati-hati dan takut kepada Allah. Seorang ulama Ibrahim An-Nakha’i berkata,
” إني لأرى الشيء أكرهه، فما يمنعني أن أتكلّم فيه إلا مخافة أن أُبتلى بمثله”
“Aku melihat sesuatu yang aku tidak suka, tidak ada yang menahanku untuk berkomentar dan membicarakannya kecuali karena aku khawatir aku yang akan ditimpakan masalahnya dikemudian hari.” (Ibnu Abid Dunya dalam kitab Ash-Shamt)
Demikian pula ketika Muhammad bin Sirin terlilit utang dan ia dipenjara karenanya, maka beliau berkata :
إني أعرف الذنب الذي أصابني بهذا عيّرتُ رجلاً منذُ أربعين سنة فقلت له : يا مفلس قال : عَيَّرْتُ رَجُلاً بِالْإِفْلَاسِ فَأَفْلَسْتُ
“Sesungguhnya aku ingat dosaku yang mengakibatkan aku tertimpa musibah ini. Dahulu 40 tahun yang lalu aku pernah mengejek seorang yang bangkrut, “Hai bangkrut.” Ternyata kini aku yang terkena bangkrut.” (Majmu’ Rasail Ibnu Rajab, 2/413)
Semoga setelah kita mengetahui hal ini kedepan kita bisa menjaga lisan kita, Jangan sampai orang lain yang melakukan dosa dan maksiat namun kita juga ikut berdosa bahkan bangkrut di akhirat. Na’udzubillah.
Wallahu a’lam.