Menjadi kaya tidaklah tercela dan hidup miskin bukanlah tanda hina. Dua keadaan hamba baik itu kaya atau miskin keduanya bisa menjadi sebab meraih kebahagiaan dan surga. Suhaib raḍiallāhu ‘anhu meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah sallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin. Semua keadaannya itu merupakan kebaikan baginya dan yang demikian itu tidak dimiliki selain orang mukmin. Jika ia mendapatkan kebaikan maka ia bersyukur sehingga hal itu merupakan kebaikan baginya dan jika ia ditimpa kesukaran maka ia pun bersabar, dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim).
Jadi, kaya tidak identik dengan cinta dunia dan miskin bukan berarti selalu cinta akhirat. Namun kaya dan miskin adalah takdir Allah yang dipergilirkan layaknya siang dan malam secara bergiliran. Sehingga yang terpenting adalah jika Allah menggilirmu dalam posisi kaya bersyukurlah dan belanjakan kekayaan itu di jalan yang di ridai-Nya. Begitupun saat Allah menggilirmu dengan kemiskinan maka bersabarlah karena ada berjuta kebaikan yang disiapkan di kondisi miskinmu. Kaya atau miskin keduanya adalah baik selama dijalani dengan penuh rida, syukur, dan takwa.
Wallahu Ta’ala A’lam.