Kita Adalah Seorang Musafir
Betapa indah perkataan Ibnu Qoyyim rohimahulloh ketika menyebutkan bahwa kerinduan, kecintaan dan harapan seorang muslim kepada surga adalah karena surga merupakan tempat tinggalnya semula. Seorang muslim sekarang adalah tawanan musuh-musuhnya dan diusir dari negeri asalnya karena iblis telah menawan bapak kita, Adam ‘alaihissalam dan dia melihat, apakah dia akan dikembalikan ke tempat asalnya atau tidak. alangkah bagusnya perkataan seorang penyair,
نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى مَـا الْحُـبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الْأَوَّلِ
كَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَتَى وَحَنِيْنُـــهُ أَبَــداً لِأَوَّلِ مَــنْزِلٍ
Palingkan hatimu pada apa saja yang kau cintai
Tapi kecintaan sejati hanyalah pada cinta pertama kali (Yakni Allah Jalla wa ‘Ala)
Berapa banyak tempat tinggal di bumi yang disinggahi
Kerinduan sejati tetap pada tempat tinggal pertama kali (Yakni di jannah)
Mereka letakkan jannah di pelupuk matanya, sedangkan di dunia, mereka hanya numpang lewat saja. Mereka tak ingin dunia menjadi akhir perjalannya. Hatinya belum merasa tenang sebelum sampai di rumah aslinya, dan ‘keluarga’ sejatinya. Maka sebagaimana seorang musafir akan mempercepat jalannya, begitupun orang-orang yang ingin ‘pulang’ ke rumahnya di jannah akan bersegera dalam mengupayakan langkah sehingga ia bisa sampai ke rumah dengan selamat. Maka semboyan seorang muslim adalah, “laa raahata illa fil jannah”, tiada rehat yang sesungguhnya kecuali di jannah.
Tapi kecintaan sejati hanyalah pada cinta pertama kali (Yakni Allah Jalla wa ‘Ala)
Karena itulah, setelah meriwayatkan hadits tersebut, Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhuma berkata,
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ
“Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada pagi hari jangan menunggu datangnya sore.” (HR Bukhari)
Orang yang cerdas akan menjatuhkan pilihan akhirat sebagai negeri tujuan yang didambakan, sedangkan dunia hanyalah kampung yang dilewati untuk sampai ke tempat tujuan. Dunia adalah tempat persinggahan sementara, atau dalam konteks sekarang ini bisa diibaratkan sebagai halte pemberhentian. Disitulah tempat para musafir memilih kendaraan yang bisa mengatarkannya ke tempat tujuan. Maka seindah apapun halte pemberhentian itu dihias, tak akan memupuskan kerinduan musafir untuk tetap pulang. Maka seindah apapun dunia ini dihias, tak memupus kerinduan seorang muslim untuk berangkat menuju rumahnya di akhirat.
Alasannya sangat kuat, tak ada satu celahpun keraguan hati yang melekat. Karena informasi bersumber dari al-Qur’an yang seratus persen akurat. Allah Ta’ala berfirman.
”Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” {Al-’Ala : 17}
Jannah sebagai rumah asal insan yang beriman memang pantas dirindukan. Jenis kenikmatan yang tersedia terlampau hebat untuk dibayangkan. Masa mengenyam kelezatannya kekal tiada batasan. Hanya orang bodoh yang rela kehilangannya, demi kenikmatan yang sangat sedikit, dengan durasi waktu yang sangat sempit. Maka musibah paling besar adalah ketika manusia lupa akan hakikat dunia yang hanya dilewati sementara, sementara ia menjadikannya sebagai tempat tujuan dan akhir perjalanannya.
Ada satu kisah suatu kali ada seorang shalih berjalan menggunakan tongkat lalu ditanya, “Mengapakah Anda menggunakan tongkat sementara Anda tidak sedang safar dan Anda juga belum terlalu tua?” Beliau menjawab, “Agar aku selalu ingat, bahwa saya di dunia ini hanyalah sebagai seorang musafir.”
Yang menarik dalam fragmen tersebut bukan soal tongkatnya, tapi bagaimana seorang shalih menjadikan sesuatu sebagai pengingat akhirat, dan pengingat bahwa dirinya hanyalah sebagai musafir di dunia ini. Dan seorang musafir akan kembali k e rumah aslinya.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Suatu kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ، أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari).
Nabi bersabda:
مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia?! Tidaklah aku di dunia ini kecuali hanyalah seperti musafir yang bernaung di bawah pohon lalu pergi meninggalkannya“. (H.R. At-Tirmidzi).
Inilah perumpamaan yang telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kemudian memerintahkan kita agar zuhud terhadap kehidupan dunia dan tidak diperbudak oleh dunia sebagaimana yang telah dijelaskan, dunia sebagaimana dalam bahasa arab adalah sesuatu yang dekat atau sesuatu yang fana atau dekat dengan kata Ad Daniah sesuatu yang fana yang tidak ada nilainya disisi Allah Subhanahu wata’ala.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiallahu anhu:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوْقِ دَاخِلًا مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ. فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ، ثُمَّ قَالَ: ))أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ (( فَقَالُوْا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قال:(( أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ )) قَالُوْا: وَاللهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ، لِأَنَّهُ أَسَكُّ. فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: (( فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ )).
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melewati pasar sementara banyak orang berada di dekat Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berjalan melewati bangkai anak kambing jantan yang kedua telinganya kecil. Sambil memegang telinganya Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Siapa diantara kalian yang berkenan membeli ini seharga satu dirham?” Orang-orang berkata:”Kami sama sekali tidak tertarik kepadanya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah kalian mau jika ini menjadi milik kalian?” Orang-orang berkata:”Demi Allâh, kalau anak kambing jantan ini hidup, pasti ia cacat, karena kedua telinganya kecil, apalagi ia telah mati?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
Demi Allah, sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian“. (HSR. Muslim, no. 2957).
Tidaklah dunia ini yang mana orang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkannya kemudian sehingga menyebabkan mereka saling bertikai dan berkelahi uintuk memperebutkannya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini begitupula kekuasaan, pangkat dan jabatan, harta benda diperkarakan untuk diselesaikan dipengadilan bahkan ada anak yang menggugat bapaknya dan ada saudara yang putus hubungan dengan saudaranya hanya sebab dunia, ketahuilah apa yang kita perebutkan dan pertengtangkan disisi Allah tidaklah bernilai dari se’ekor bangkai binatang yang cacat sebagaimana kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu A’lam.
Semoga bermanfaat.
Solo, 20 Rojab 1442 Hijriyah
(Abu Ibrohim Ayyash diambil dari banyak sumber)